SENTOLO.COM - Pada hari Minggu 04/08/2019
lalu desa Tuksono kecamatan Sentolo kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyelenggarakan Festival Oglek dalam rangka upaya
pelestarian jenis kesenian yang menjadi ikon desa Tuksono. Kegiatan ini
diprakarsai oleh Pengurus Desa Budaya Tuksono bersama Kepala Desa beserta
jajarannya. Festival Oglek tahun ini merupakan festival yang pertama kalinya
diselenggarakan. Kegiatan ini mengambil lokasi di komplek Sendang Kamulyan
Taruban. Disamping itu, even festival ini juga diselenggarakan dalam rangka
memberikan ruang aktualisasi Sanggar Kesenian yang ada di Tuksono. Pada
kesempatan itu ditampilkan pula kebolehan anak-anak penggiat seni budaya
Tuksono yang tergabung di Sanggar Seni Amarta, pedukuhan Karang desa Tuksono.
Dalam Festival Oglek perdana ini memang masih minim pesertanya, yakni baru 5 kelompok Oglek. Kelima kelompok ini memang dari pedukuhan yang saat ini benar-benar masih masih memiliki Grup Oglek. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Desa Tuksono :”Kedepan diharapkan di masing-masing pedukuhan tumbuh grup-grup Oglek baru sehingga pada festival tahun mendatang jumlah peserta semakin banyak atau meningkat”.
Dalam Festival Oglek perdana ini memang masih minim pesertanya, yakni baru 5 kelompok Oglek. Kelima kelompok ini memang dari pedukuhan yang saat ini benar-benar masih masih memiliki Grup Oglek. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Desa Tuksono :”Kedepan diharapkan di masing-masing pedukuhan tumbuh grup-grup Oglek baru sehingga pada festival tahun mendatang jumlah peserta semakin banyak atau meningkat”.
Kesenian Oglek diciptakan
oleh Mbah Rubikin Noto (Sruntul)
Sunaryo atau yang biasa
disebut Rubikin (Sruntul) pada tahun 1957. Kesenian
Oglek merupakan kesenian khas Tuksono yang
sangat populer pada masyarakat. Kesenian ini mudah dikenali
karena sangat unik dan menarik. Kata
Oglek itu sendiri berasal dari kata
“Oglek-oglek” yang artinya
tarian itu mempunyai
gerakan lurus dari
kepala
sampai ke pinggang.
Oglek memiliki kemiripan dengan
kesenian Jathilan, gerakan dinamis
dengan gaya patah – patah
dibawakan dengan empat
penari inti. Tarian
ini menggambarkan peperangan antara
Sutiwijoyo dan Arya
penangsan. Penari memakai kostum
baju kuning dan menaiki
kuda kepang, ketika
mengalami trance roh yang
dipanggil oleh pawang,
gerakannya jadi dinamis dan
lentur. Tubuhnya ketika
dicambuk oleh pawang tidak merasakan sakit. Uniknya, pementasan Oglek
ini harus ada ritual sesaji tersendiri yang dilakukan di tempat pementasan.
Kesenian Oglek
menceritakan cerita yang
sama pada setiap
pentasnya, peperangan Sutowijoyo
dan Aryo Penangsang
menjadi cerita menarik
dan ceriteranya tidak berubah. Aslinya, kesenian Oglek
ini terdiri dari 5 bagian adegan, sehingga jika ditanggap atau dipentaskan memerlukan waktu kurang lebih 3 jam. Kesenian Oglek merupakan
contoh kesenian yang digemari
mas yarakat Desa Tuksono, hal
ini terlihat dari
banyaknya permintaan mas yarakat
untuk dipentaskan kembali. Kelompok
kesenian ini tampil
dalam festival, acara -acara hajatan serta
mendapat undangan untuk
tampil di luar
kota.
Dalam perjalanan waktu kesenian Oglek
mengalami kemunduran disebabkan
oleh minimnya minat sukarelawan terhadap
kesenian Oglek. Saat
ini di Tuksono grup kesenian Oglek tinggal tersisa 6 grup dari
12 pedukuhan, berbeda
dengan zaman dulu di mana
kesenian Oglek ada pada setiap pedukuhan. Mundurnya kesenian Oglek sebagai salah satu bukti bahwa unsur
kebudayaan lokal mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Semoga apa yang kini dilakukan
desa budaya Tuksono melalui festival Oglek akan membangkitkan kembali minat
masyarakat pada kesenian tradisional serta adat tradisi lainnya yang saat ini
masih berjalan di tengah proses modernisasi.