src='https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js'/>

Monday 5 August 2019

Oglek Tuksono ikon kesenian tradisional yang patut dilestarikan


SENTOLO.COM - Pada hari Minggu 04/08/2019 lalu desa Tuksono kecamatan Sentolo kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyelenggarakan Festival Oglek dalam rangka upaya pelestarian jenis kesenian yang menjadi ikon desa Tuksono. Kegiatan ini diprakarsai oleh Pengurus Desa Budaya Tuksono bersama Kepala Desa beserta jajarannya. Festival Oglek tahun ini merupakan festival yang pertama kalinya diselenggarakan. Kegiatan ini mengambil lokasi di komplek Sendang Kamulyan Taruban. Disamping itu, even festival ini juga diselenggarakan dalam rangka memberikan ruang aktualisasi Sanggar Kesenian yang ada di Tuksono. Pada kesempatan itu ditampilkan pula kebolehan anak-anak penggiat seni budaya Tuksono yang tergabung di Sanggar Seni Amarta, pedukuhan Karang desa Tuksono.

Dalam Festival Oglek perdana ini memang masih minim pesertanya, yakni baru 5 kelompok Oglek. Kelima kelompok ini memang dari pedukuhan yang saat ini benar-benar masih masih memiliki Grup Oglek. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Desa Tuksono :”Kedepan diharapkan di masing-masing pedukuhan tumbuh grup-grup Oglek baru sehingga pada festival tahun mendatang jumlah peserta semakin banyak atau meningkat”.

Kesenian  Oglek   diciptakan  oleh Mbah Rubikin Noto  (Sruntul) Sunaryo  atau  yang biasa  disebut  Rubikin (Sruntul) pada  tahun  1957. Kesenian  Oglek  merupakan  kesenian khas Tuksono  yang  sangat  populer  pada masyarakat. Kesenian ini mudah dikenali karena  sangat unik dan menarik. Kata Oglek itu sendiri berasal dari kata   “Oglek-oglek”   yang  artinya  tarian  itu  mempunyai  gerakan  lurus  dari  kepala  
sampai ke pinggang.

Oglek memiliki kemiripan dengan kesenian Jathilan, gerakan  dinamis dengan gaya patah    patah  dibawakan  dengan  empat  penari  inti.  Tarian  ini  menggambarkan peperangan  antara  Sutiwijoyo  dan  Arya  penangsan.  Penari memakai  kostum  baju kuning  dan  menaiki  kuda  kepang,  ketika  mengalami  trance  roh yang  dipanggil  oleh pawang, gerakannya  jadi dinamis  dan  lentur.  Tubuhnya  ketika  dicambuk  oleh pawang tidak  merasakan sakit. Uniknya, pementasan Oglek ini harus ada ritual sesaji tersendiri yang dilakukan di tempat pementasan.

Kesenian  Oglek  menceritakan  cerita  yang  sama  pada  setiap  pentasnya,  peperangan  Sutowijoyo  dan  Aryo  Penangsang  menjadi  cerita  menarik  dan ceriteranya  tidak  berubah. Aslinya, kesenian  Oglek  ini terdiri dari 5 bagian adegan, sehingga jika  ditanggap atau dipentaskan memerlukan  waktu kurang lebih 3 jam. Kesenian Oglek  merupakan  contoh kesenian  yang  digemari  mas yarakat Desa  Tuksono,  hal  ini  terlihat  dari   banyaknya   permintaan  mas yarakat   untuk dipentaskan  kembali.  Kelompok  kesenian  ini  tampil  dalam  festival,  acara -acara hajatan  serta  mendapat  undangan  untuk  tampil  di  luar  kota.  
Dalam perjalanan waktu kesenian  Oglek  mengalami  kemunduran  disebabkan  oleh  minimnya  minat sukarelawan  terhadap  kesenian  Oglek.  Saat  ini di Tuksono grup  kesenian  Oglek tinggal tersisa 6  grup dari  12  pedukuhan,  berbeda  dengan zaman dulu di  mana kesenian Oglek ada pada setiap pedukuhan. Mundurnya kesenian Oglek  sebagai salah satu bukti bahwa unsur kebudayaan lokal mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya.

Semoga apa yang kini dilakukan desa budaya Tuksono melalui festival Oglek akan membangkitkan kembali minat masyarakat pada kesenian tradisional serta adat tradisi lainnya yang saat ini masih berjalan di tengah proses modernisasi.

No comments:

Post a Comment